- - -
Jika seseorang memintaku untuk merekonstruksi
ulang suasana, rasa minuman, musik yang terdengar, bahkan hal yang dibicarakan
saat pertama kali bertemu denganmu, aku hanya akan tersenyum kecut dan
menggelengkan kepalaku. Pertama kali bertemu denganmu, aku merasa bahwa kamu
bukan seseorang yang menarik. Atau bahkan seseorang yang, belasan bulan
kemudian, menjadi sosok yang cukup penting bagiku.
Tapi walaupun begitu, aku ingat matamu yang
bersinar cerah. Suara beratmu yang terdengar indah. Senyum manis yang menyapa
bibirmu saat kamu mendengarkanku berbicara.
Hingga saat ini, aku tidak mengerti apa yang
membuatmu menghampiri mejaku pada hari itu. Mungkin karena saat itu tidak ada
lagi meja yang kosong, sementara diriku duduk sendiri, terbuai oleh bacaan
didepanku dan secangkir kopi dingin pada suatu sore yang biasa-biasa saja. Kamu
datang dan menepuk pundakku, bertanya apakah kursi di depanku kosong. Aku hanya
mengangguk. Kita berdua kemudian asik dengan kesibukan masing-masing, hingga
tiba-tiba kamu bertanya mengenai buku yang sedang kubaca. Aku tersenyum kecil
dan menjawab pertanyaanmu seadanya, berharap agar basa-basi ini segera selesai.
Saat itu, aku tidak sadar dua jam akan terlewati
tanpa diriku melanjutkan bacaanku, terlalu terbuai dengan percakapan denganmu
yang terasa mengalir begitu saja, seolah-olah kita adalah teman lama.
Sekarang, kamu duduk di depanku dan tersenyum
kecil. Menanyakan apa yang sedang kupikirkan. Aku menjawab dengan sebuah
senyuman, sembari berfikir bahwa jika saat itu aku menggelengkan kepalaku,
berhenti menjawab pertanyaanmu, atau bahkan pergi tanpa saling menukar kontak
satu sama lain, aku tidak akan merasakan hidup denganmu.
- - -
No comments:
Post a Comment