Saturday, 7 January 2017

Day 6: A Balloon, A Ball, Balustrades.




.

Ia merasa sangat bosan.

Disekelilingnya, orang-orang saling bercanda tawa, menari, membicarakan hal-hal yang tidak penting, dan berusaha terlihat bersenang-senang walaupun dalam hati mereka tidak. Ia tahu hal itu, karena ia sendiri memasang senyum palsu walaupun dalam hati ia merasa bosan. Kesal.
Tapi sayangnya, ia harus mengikuti hal ini sampai pukul sepuluh malam, waktu tercepat untuknya pulang yang ditentukan oleh orang tuanya.

Ia tidak tahu mengapa ia harus sekali datang ke acara seperti ini. Ia tidak kenal dengan siapapun (bohong, sebenarnya ia kenal, tapi orang-orang yang ia kenal bukanlah mereka yang ingin ia ajak bicara).

Ia memutar untuk mengambil minum lagi, sebelum kemudian dari ujung penglihatannya ia melihat sesuatu yang melayang-layang dan... bundar?

Balon?

Siapa yang bawa balon di pesta dansa?

.

.



Jonathan memegang erat-erat balon putih yang ia bawa. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa Anna akan melakukan hal itu. Pertama memaksanya untuk datang ke acara pesta keluarganya, kedua memaksanya untuk membawa sebuah balon, Jonathan, please for me, ketiga mengabaikannya untuk pria lain dan meninggalkannya sendirian di tengah-tengan manusia socialite yang memandangnya aneh karena ia membawa sebuah balon.

I really, really need to go home.

Mengangguk kepada dirinya sendiri, Jonathan berputar dan perlahan-lahan berjalan menuju pintu keluar ruangan. Tapi, baru beberapa langkah, ada sebuah tangan yang memegang lengannya dan menghentikannya.

“Balon yang bagus.”

Kaget karena ada seseorang yang mengajaknya berbicara dan memuji balonnya, Jonathan berbalik dan kedua matanya langsung bertemu dua bola mata berwarna hijau cerah.

Wah, cemerlang sekali warna matanya.

Tersentak kaget karena tangan itu menepuknya pelan, ia baru menyadari bahwa ia belum menjawab pertanyaan gadis di depannya. Tersenyum kecil dan mengangkat bahunya, ia menjawab, “Terima kasih. Sayangnya, gadis yang memintanya tidak menyukainya.”

Gadis di depannya mengerutkan keningnya. “Memang sebenarnya balon itu untuk siapa?”

“Mungkin kau mengenalnya? Namanya adalah Anna Milton,” jawab Jonathan.

Gadis itu mendengus, sebelum menjawab, “Ya, aku kenal dia. Beruntung kau hanya diminta untuk membawa sebuah balon, beberapa bulan yang lalu ada seorang pria yang membawakannya beberapa ikat bunga dan hampir satu lusin kotak cokelat.”

“Untung saja aku tidak benar-benar mengencaninya,”

Lucky you. Hey, mau ke balkon? Saat-saat seperti ini aku sering kabur ke sana.”

“Kau punya ide bagus.”

.

.

“Jadi, kau dari keluarga Thompson?”

“Ya, orang tuaku teman dekat keluarga Milton, dan ketika ada acara-acara seperti ini aku pasti dipaksa ikut.”

Poor you.”

.

.

“Kau suka Star Trek juga?”

Dammit Jim, I’m a doctor, not an elevator!”

“Hahaha, nice one!”

.

.

“Kenapa kau tiba-tiba memilih untuk mengejar Anna?”

Well, gadis itu sangat cantik-“

Typical.”

-dan beberapa minggu yang lalu aku melihatnya di toko buku membaca summary 1984-nya George Orwell, dan ketika ku ajak bicara mengenai itu ia terlihat bersemangat. Beberapa hari yang lalu aku menyadari bahwa ia begitu... posesif dan sedikit kekanak-kanakan. Awalnya aku tidak ingin lagi mengencaninya, tapi ia memaksaku untuk datang ke acara ini dan kupikir ini bisa jadi yang terakhir jadi... yah.”

“Whoa. Aku tak menyangka bahwa Milton baca Orwell juga.”

“Apa buku favoritmu?”

Monsoon Tiger and Other Stories, karya Rain Chudori. Kau?”

That’s nice, but too much feelings. Will Grayson, Will Grayson, karya John Green dan David Levithan.”

Cool!”

.

.

It’s already midnight,” ujar Jonathan. Mereka berdua masih berada di balkon, dan sekarang menatap langit karena tidak ada lagi yang mereka bicarakan.

“Whoa, sudah tiga jam?”

“Ya, sepertinya. Waktu berjalan begitu cepat, ya.”

“Hmm...”

Hey, wanna meet again?”

“Sure.”

“This is my number,”

“This is mine. I’ll text you later, okay?”

“Okay.”

“Terima kasih untuk obrolannya,”

Jonathan mengangguk, dan, setelah sedikit ragu, mencium pipi gadis di depannya dan memberikan balon yang sedari tadi ia pegang.

You’re welcome, Marie.”

Marie hanya tersenyum cerah.

End.
-a.m.r

.
P.S: Pictures are NOT mine, it can be found on pinterest.com.

No comments:

Post a Comment