---
"Kak, cepat pulang, ya?”
Agnia hanya tersenyum menatap adiknya.
Dhara mungkin hanya tiga tahun lebih muda, tapi tidak pernah tidak manja kepada
sang kakak.
“Iya, janji. Pekerjaannya hanya dua planet
dari sini, kok. Tablet kamu masih bisa digunakan, kan? Kalau ada apa-apa jangan
sungkan hubungi kakak, ya.”
Dhara tersenyum balik. “Siap, kak!”
Berbalik sembari tertawa, Agnia melambaikan
tangannya kepada sang adik yang bertengger di pintu rumahnya. Segera ia
memasuki pesawat luar angkasa mini miliknya dan melakukan pengecekan sebelum
lepas landas. Dari ujung matanya, ia melihat ibunya memperhatikannya dari
jendela atas, tapi ketika ia membelokkan kepalanya sedikit, ia tidak melihat
apa-apa.
Hmm.
“Hanya masuk-ambil-keluar-drop. Seminggu
juga sudah selesai.”
Kepulangan Agnia disambut dengan rumahnya
yang sudah menjadi puing-puing hitam tanda terbakar. Adik dan ibunya tidak
terlihat sama sekali.
(“Agnia, kau yakin ingin melakukan itu?”
“Ya, aku yakin. Ini jalan terakhir. Kau pikir
aku tidak akan memilih jalan yang lebih mudah daripada menjelajahi galaksi
untuk mencari tiga artefak legendaris?”
“Yah… kalau ada yang bisa mencari dan
menemukan tiga benda itu, hanya kamu, Ni.”
“Terima kasih, Meg, terutama karena telah
menampungku selama beberapa hari ini.”
“Tentu saja! Tapi Ni… apa kamu yakin adikmu
masih hidup?”
“…ya. Bukti dari lab Atma tidak berbohong.
Hanya sedikit barang-barang milik Dhara yang berada di kamarnya. Tidak mungkin
semuanya terbakar, karena api berasal dari bagian depan rumah sedangkan kamar
Dhara berada di belakang.”
“Menelusuri Dhara dengan cara lain juga
tidak bisa?”
“Tidak. Tablet Dhara ada di rumah.
Melacaknya dengan bantuan warlock pun tidak membuahkan hasil. Mereka berkata
ada sesuatu yang menutupi life force Dhara sehingga mereka tidak bisa
melacaknya.”
“Baiklah kalau begitu. Ingat, kalau kamu
butuh apa-apa, jangan sungkan untuk meminta bantuan. Kamu tetap bagian dari
serikat Penjelajah, oke?”
"Terima kasih banyak, Mega. Sampai bertemu
di ujung Bima Sakti, eh?”
“Sampai jumpa lagi, Agnia, dan semoga para
bintang menyertaimu.”)
-0-
"Agnia?"
Menghela nafas, yang dipanggil membalikkan
badannya. Tinggal sedikit lagi. Kenapa Bima harus selalu datang di saat yang
tidak tepat?
"Ah, Bima." Agnia tersenyum,
kedua tangannya dengan cepat menaruh artifak legendaris terakhir yang harus ia
cari di saku celana. Akhirnya. Sekarang, tinggal bagaimana kabur dari gua
ini... "Sayang sekali kamu tidak datang lebih lambat."
Bima mendengus. "Mendengar ada seseorang
yang mengumpulkan tiga artifak itu, awalnya kukira kamu. Tapi kemudian
pemerintah Lero menghubungiku tentang kebakaran rumahmu dan aku yakin kamu
masih menetap di Mega... apa yang kamu lakukan, Agnia?"
Agnia melengos. "Untuk apa Lero
menghubungimu?"
"Aku kan suamimu!"
"Mantan, sayang."
"Iya, tapi di arsip Lero namaku masih
tercantum sebagai suamimu, Agnia."
Agnia mengedip kaget. "Huh."
"Empat bulan mencari tiga artifak...
kamu tidak berusaha menghidupkan kembali Dhara, kan, Nia?"
Sunyi.
"Bukan."
Menghela nafas, Bima maju selangkah.
"Kalau begitu, apa--"
"Huh, efeknya masih cukup
lambat," ujar Agnia, menatap mantap suaminya yang terjatuh tidak sadarkan
diri karena obat bius yang ia lontarkan diam-diam sesegera setelah mendengar
ada orang yang masuk. Dari sekian banyak personil militer yang harus
mengejarnya, kenapa Bima?
"Inilah kenapa kita bercerai."
-0-
("Jadi, siapa yang ingin kau hidupkan
kembali?"
Teriakan kaget. "Siapa kamu?!"
"Geo, anak buah Kolonel Bima yang ditugaskan
untuk menyelundupi kapalmu. Jadi?"
Helaan nafas. "Bima masih mengenalku,
rupanya. Kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu?"
"Karena kamu sedang menuju planet
134340 yang membutuhkan waktu hampir seminggu untuk mencapainya. Jadi?"
"...Ibuku."
"Mengapa? Kami semua yakin kau akan
menghidupkan kembali adikmu."
"...berapa banyak hal yang diceritakan
Bima tentangku kepada kalian?!"
"Jawab saja pertanyaannya."
"Ibuku adalah satu-satunya yang
mengetahui keberadaan adikku, dan ia memegang kunci untuk mendapatkan adikku
kembali."
"Kok bisa? Kenapa hanya ibumu?"
"Karena dia yang menyembunyikan Dhara,
dan membakar rumah kami serta dirinya sendiri.")
-0-
“Bahkan aku sendiri tidak menyangka bahwa
kamu akan bertindak hingga serendah ini.”
Agnia hanya menatap sosok yang berbaring
terikat di atas batuan lebar, diapit oleh tiga artifak yang ia cari mati-matian
selama empat bulan terakhir. Empat bulan yang ia lewati dengan penuh rasa teror
dan tekad, berhasil ia lewati dengan tingkat kewarasan yang tidak turun
sedrastis yang ia kira. Pasti karena adrenalin.
“Berdiri.”
‘Tubuh’ ibunya berdiri mengikuti
kemampuannya. Bagus, berarti ritualnya berhasil.
“Apa saja yang kubutuhkan untuk menemukan
Dhara?”
Tidak ada jawaban, namun Agnia dapat
melihat dengan jelas bahwa ‘ibu’-nya berusaha keras untuk tidak menjawab. Ritualnya
benar-benar berhasil.
Sebentar lagi, ia akan bertemu kembali
dengan Dhara.
“Sebuah kata kunci untuk memulai mantra
pencari lokasi, dan hanya dengan menggunakan sihir milikku.”
Sesuai dugaannya. Ibunya mengunci
keberadaan adiknya di dalam sihir miliknya, sehingga bahkan warlock terbaik pun tidak bisa mencari Dhara.
Membawa pergi Dhara dari Agnia bukan sebuah
rencana berumur bulanan, atau satu-dua tahun. Mungkin ibu mereka merencanakan
ini sejak Agnia membangkan, delapan tahun yang lalu.
“Serikat Mort.”
Keparat.
Segera Agnia memutuskan ritualnya, menatap
hancurnya ‘tubuh’ ibunya dengan tatapan pasif. Diraihnya tiga artifak yang
masih tergeletak ke tangan Geo yang sedari tadi diam di belakangnya.
Sejak Geo mengetahui (hampir) semua kisah
tentang keluarga Agnia, ia mendukung rencananya. Bima benar-benar memiliki anak
buah yang hebat.
“Nih. Kembalikan ke tempat asalnya, simpan sendiri,
atau laporkan ke Jendralmu, aku tidak peduli. Aku harus segera pergi. Bawa
kapalku.”
“Tapi, bagaimana denganmu?”
Agnia menyeringai ketika mereka mendengar
suara kapal mendarat dari kejauhan. Ah, Bima benar-benar masih mengerti
dirinya.
“Tumpanganku sudah tiba.”
-0-
(“Dhara, syukurlah.”
“Kakak!”
Sebuah pelukan erat antar adik-kakak yang
sudah terlalu lama berpisah.
“Kupikir aku tidak akan bertemu kak Agi
lagi.”
“Mana mungkin aku meninggalkan adik
satu-satuku di tempat ini, kan?”
"Uhum.”
“Maaf ya, kelamaan.”
“Aku tau ibu pasti melakukan berbagai cara
untuk menyembunyikanku dan membuat kakak sangat sulit dalam mencariku, jadi tak
apa.”
“Kita segera pergi dari sini, yuk.
Barang-barangmu sudah dikemas?”
“Sudah dong, tidak pernah kukeluarkan dari
koper.”
“Dhara…”
“Yang penting kakak sudah di sini
menjemputku! Oh ya kak…”
“Hmm?”
“Kok ada Kak Bima, sih? Kakak balikan ya?
Asik!”
“Engga kok!”)
-0-
Dhara melihat kakaknya yang sedang mengobrol dengan Bima. Yah... gak mengobrol juga sih. Lebih tepatnya saling mencemooh dan mengejek satu sama lain. Tapi Dhara sudah mengenal Bima terlalu lama, mengetahui bahwa hilangnya tensi dari punggung kakak iparnya itu menandakan bahwa Bima merasa lega karena Agnia sudah mendapatkan Dhara kembali, serta nada ringan yang Agnia bawa ketika 'mengobrol' dengan Bima menandakan bahwa ucapan kasar yang ia lontarkan tidak serius.
Bima tau persis betapa Agnia sangan menyayangi adiknya. Dhara juga tidak pernah berhenti yakin, tidak pernah berhenti berharap bahwa kakaknya akan datang menjemputnya. Walaupun tidak segera, tapi suatu hari pasti.
Tidak sampai satu tahun kemudian, di sinilah ia berada. Di ujung pulau yang menjadi 'rumah' Serikat Mort.
Melihat kakak dan kakak iparnya saling bercengkrama... sekarang setelah mereka berhasil kabur dari ibu dan Serikat Mort, bagaimana caranya agar mereka berdua bisa balikan, ya? Dhara rindu melihat Agnia tersenyum karena Bima.
Hmm. Mungkin dimulai dari numpang tinggal di rumah Bima, mengingat rumah mereka yang lama telah terbakar habis?
Ide bagus.
---
Selesai.
No comments:
Post a Comment