The name and storyline is mine, places are either fictional or belong to Japan's Gov.
Happy Reading!
You took my hand
You showed me how
Salju
terlihat menawan, ya.
Rui
menghela nafas dan memijit keningnya. Ia sekarang berada di sebuah café mungil
dengan segelas cokelat panas ditangan. Memakai sweater berwarna cokelat,
warna matanya, dan syal berwarna biru, warna favoritnya, ia
merasa cukup hangat mengingat udara di bulan Desember kota Tokyo tidak pernah
bersahabat. Kembali menghirup cokelat panasnya, pikirannya pun mengelana.
Tepatnya,
menuju kenangan bersamanya.
Senyum
kecil muncul di wajahnya. Aih, kenangan manis selama SD yang kemudian berlanjut
menuju SMP dan SMA. Mereka berdua tidak terpisahkan sejak pertama kali mereka
bertemu dan berteman dengan satu sama lain. Teman-temannya sejak SD,
sebetulnya. Marie-chan dan Yuuko tetap menjadi sahabat terbaiknya. Kenta
tetap bersama Yuuko, walaupun ada saatnya dimana mereka on-off. Dan dia…
Senyum
kecilnya berubah menjadi senyum nostalgia. Ah, sosok Eguchi Ren memang one
in a million. Unik. Begitu khas. Sampai Rui merasa benar-benar beruntung
karena bisa bertemu dan mengenal sosok sepertinya. He's a gem.
Little
crush yang mereka berdua
miliki dipupuk hingga menjadi in love. Tetapi, mereka berdua tetap orang
yang paling keras kepala yang bisa ditemui. Ego mereka begitu besar dan entah
mengapa tidak bisa mereka kecilkan demi mengungkapkan kata-kata atas hal yang
sudah jelas bagi mereka berdua, dan orang lain. Tapi tetap saja… walaupun kata
tak terucap, Ren menggantinya dengan gestur-gesturnya yang manis.
Seperti
dulu…
Ketika
rasa dingin datang, ketika dirinya yang masih bocah melupakan pentingnya sarung
tangan, Ren akan mengambil kedua tangannya dan memegangnya erat, memasukkannya
ke dalam kantong jaketnya. Hangat yang dipancarkan oleh mereka berdua cukup
membuat tangan Rui tidak kembali dingin. Ia ingat dulu hatinya bergetar dan
wajahnya memanas.
Ren
tidak pernah menginisiasi kontak tangan sebelumnya, dan kepada siapapun.
Mungkin, di beberapa 'kencan' yang Rui lihat, ada tangan gadis lain yang
memeluk lengan Ren, tapi anak laki-laki itu tidak pernah menggenggam tangan
itu.
Hanya
kedua tangannya.
Hangatnya
masih bisa ia rasakan sampai sekarang. Ingatan yang menghantuinya, mengejar
dirinya terutama ketika ia sedang lelah. Ketika tugas-tugas kuliah menumpuk dan
kehangatan yang sangat ia butuhkan tidak ada. Ketika nostalgia menghantamnya
dan ia dipenuhi oleh ingatan-ingatan manis akan masa kecilnya. Ketika yang
ingin ia lakukan hanya berbalik dan menggenggam kedua tangan itu, mencari
kehangatan.
Kedua
tangannya begitu khas.
Karena
pada saat itu, Eguchi Ren telah menawarkan kehangatakan kepada dirinya yang
masih polos, dan menuntunnya kepada suatu kebahagiaan.
You promised me you'd be around
Uh huh
That's right
Ia
ingat ketika mereka masih SMP dulu, mereka bertengkar. Mereka berdua sudah
mengenal arti 'cinta', arti 'kekasih', dan arti 'hubungan tanpa status'. Entah
mengapa, label itu yang mengikat mereka berdua. Lagi pula, mereka tidak pernah official,
right? Lagi pula bukan salahnya dong, pergi kencan dengan Yoshida ketika Ren
dan dirinya tidak ada hubungan resmi, dan ia sendiri melihat Ren jalan dengan
gadis lain?
Huh,
talk about hypocrite.
Mereka
bertengkar karena Ren kesal ia pergi dengan Yoshida. Rui berteriak karena
mereka bukan apa-apa dan Ren tidak berhak melarangnya pergi dengan siapapun. Ren
berteriak karena ia pergi dengan Yoshida, yang Rui sadari, setelah ia
melewati kepolosannya, memiliki crush terhadapnya sejak jaman SD dulu.
Rui
hanya menatap Ren kesal, dan menggelengkan kepalanya.
"Talk
about hypocrite, Ren. Kita bukan siapa-siapa, dan kau sendiri pergi dengan
para gadis itu! Apa salahnya kalau aku pergi dengan Yoshida, huh?"
Mereka
tidak berkencan. Mereka tidak berciuman. Mereka hanya dua teman yang begitu
dekat, yang saling mengerti satu sama lain sampai seperti bisa membaca pikiran
satu sama lain, begitu perhatian satu sama lain… dan sering jalan bersama.
Oke,
mungkin jalan bersama itu bisa disebut dengan kencan. Tapi Ren tidak pernah
mengklasifikasi 'outing' mereka dan Rui tidak terlalu peduli, lalu apa
salahnya?
Lagi
pula… suaranya tidak mengandung nada cemburu, right? Gadis-gadis yang
bersama Ren sepantar dengannya, berkulit putih mulus, cantik, berambut panjang,
dan…
Oke,
mungkin ia sedikit tidak percaya diri. Tapi, siapa sih yang tidak?
"Kau
pergi dengan Yoshida, orang yang kita berdua tahu memiliki perasaan terhadapmu.
Dan gadis-gadis itu? Mereka tidak. Itu bedanya!"
Hal
itu malah membuat Rui lebih kesal.
"Jadi
kau lebih memilih jalan dengan gadis yang tidak kau temui dua kali, tidak
memiliki perasaan satu sama lain, bergandengan tangan, berangkulan, kencan, daripada
jalan bersamaku atau Kenta? Huh, figures. Mungkin mulai sekarang mereka
bisa menjadi teman dekatmu, dan aku pergi dengan orang lain, hmm? Bye."
Ia
berbalik dan mulai berjalan keluar kelas, tapi sebuah tangan menarik
pergelangan tangannya, dan menahannya keluar. Damn, tangan itu lagi.
Tangan yang begitu familier baginya, tangan yang begitu ia suka, tangan yang
memberik kehangatan kepadanya. Segera, ia berhenti.
"Please…
I promise I'll always be around."
Mendengar
nada memohon di suara Ren, ia berbalik. Mereka berdua baru menginjak umur lima
belas tahun, tapi Rui tahu saat ini ego Ren dikalahkan oleh… sesuatu. Sesuatu
yang membuatnya menghentikannya ketika ia akan berjalan pergi.
"Dan…
mengapa aku harus percaya?"
Tangan
itu menuruni pergelangan tangannya, dan perlahaan tapi pasti melepas kepalan
tangannya yang terkepal erat, dan menautkan jari-jari mereka.
"I
know you and you know me. Isn't that enough?"
Rui
berbalik, menghapad Ren. Kedua mata mereka bertemu dan Rui tersenyum.
"It's
enough."
For
now. Bagaimanapun juga, ia
adalah seorang anak perempuan, memiliki sahabat laki-laki yang begitu dekat,
begitu… mesra, tanpa ada label diantara mereka. Bagaimanapun, ia ingin sebuah
kepastian.
Tapi
sekarang, ini sudah cukup.
I took you words and I believed
In everything you said to me
Yeah huh, that's right
Rui
percaya. Selama beberapa bulan setelah pertengkaran mereka, mereka berdua
seperti lay down. Ren tidak pergi kencan dengan gadis dari sekolah lain,
Rui tidak pergi kencan dengan Yoshida. Tapi bagaimanapun, mereka adalah remaja.
Rui
mencoba sabar, sungguh. Bagaimanapun, ini akan sedikit awkward mengingat
mereka mengenal satu sama lain sejak tahun pertama SD. Sudah… sembilan tahun.
Sepuluh ketika ia berumur enam belas tahun. Tapi tetap saja…
Ia
mulai mencoba untuk tidak terbawa perasaan, tapi… dengan Ren ia seperti
mengalir. Bebas.
Tapi
ia tetap mempercayai kata-kata Ren bahwa ia akan selalu ada.
Dan
memang, Ren selalu ada. Ketika nilai-nilainya hancur. Ketika ia dan ibunya
bertengkar. Ketika ia dan Mamoru kembali berselisih. Ketika Momo tumbuh besar
dengan cepat. Ketika mereka berdua sama-sama memasuki jenjang SMA.
Dan
ketika teman-temannya yang lain memiliki kesibukan sendiri.
Seperti
Marie-chan. Bakatnya sebagai komikus diasah sejak dini dan ia sekarang membuat
komiknya sendiri. Yuuko, begitu cantik dan populer, masih bersama Kenta dan
mereka menjadi high school sweetheart. Ketika Mamoru begitu membanggakan
orangtuanya sedangkan Rui, yang bersusah payah belajar, tapi rupanya bakatnya
bukan di bidang akademik. Orangtuanya pengertian, memang. Tapi rasa percaya
dirinya itu…
Ren
mendukungnya. Seperti ia mendukung Ren dalam hal fotografi dan sepak bola. Ren
ingin menjadi fotografer, dan Rui mendukungnya. Mereka berdua adalah batu
penunjang satu sama lain, sandaran satu sama lain, pedukung satu sama lain.
Ren
memang selalu berada di sisinya, tapi entah mengapa, ia terasa… jauh. Atau
mungkin itu semua hanya perasaannya saja?
Ia
kemudian berbalik ketika ia mendenger namanya dipanggil. Ah, rupanya
Marie-chan. Ia tersenyum dan menyapanya, sebelum mereka berdua akhirnya
tenggelam dalam berbagai topik, berusaha untuk mengenal hidup satu sama lain
lagi. Begitu banyak hal yang sudah terjadi di kehidupan mereka, sehingga terkadang
mereka saling melupakan satu sama lain. Tapi mereka masih saling mengenal
kebiasaan masing-masing, mengetahui karakter masing-masing, dan hal itulah yang
membuat mereka masih bersahabat sampai sekarang.
Tapi
tetap saja yang ada di pikirannya hanya Ren…
Dan
apakah janji Ren untuk tetap berada di sampingnya, walaupun mereka tidak…
resmi, akan tetap ia jaga.
If someone said three years from now
You'd be long gone
I'd stand up and punch them out
'Cause they're all wrong
I know better cause you said forever
And never, who knew?
Jika
ada yang berkata bahwa nanti, saat lulus SMA mereka akan benar-benar berpisah, Rui
akan tertawa.
Tapi
toh, itu kenyataannya. Karena Ren pergi mengejar mimpinya, dengan janji bawah
ia tidak akan meninggalkannya, tapi Rui tetap terjebak di masa lalu.
Marie-chan
mengejar mimpinya untuk menjadi komikus profesional, Yuuko mengejar mimpinya
untuk menjadi guru TK, dan Kenta ingin menjadi mekanik. Rui sendiri masuk
jurusan jurnalistik, mengingat pekerjaan kedua orangtuanya.
Mereka
memang bertemu banyak teman baru, tapi apa sih yang mengalahkan dua belas tahun
pertemanan?
Rui
mencoba untuk move on, mencoba untuk tidak mencintai Ren. Ia yakin di
tempat kuliahnya sana Ren mendapatkan gadis yang baru. Yang lebih.
Memikirkan
hal itu saja membuatnya sakit.
Depresi
membuatnya kekanakkan, membuatnya menemukan candu dalam kafein, membuatnya
fokus terhadap pembelajarannya. Toh, Ren tidak akan kembali sampai ia lulus,
kan?
Mereka
jarang sekali bertemu. Bahkan Natal dan Tahun Baru. Apalagi liburan musim
panas. Kapan sih, terakhir mereka berkumpul bersama? Sebelum mereka memasuki
semester 4, ia ingat.
Menghela
nafas, Rui meraih cokelat panasnya. Ia terkena marah Yuuko ketika wanita itu
mendapati dirinya meminum kopi yang entah keberapa suatu hari, dan Rui dengan
berat hati mengaku bahwa, demi lulus lebih awal, ia mengebut menyelesaikan
pekerjaannya.
Gadis
yang dulu malas mengerjakan tugas dan selalu mendapat nilai merah di sekolah
telah berubah menjadi lebih berambisi. Semua demi seseorang.
Benar
ya, cinta bisa mengubah seseorang.
Ah…
love.
Mereka
sering sms-an, mereka sering telefon-an, mereka sering skype-an. Tapi
itu semua tidak sama dengan bertemu secara langsung, saling menyentuh satu sama
lain, bukan? Terakhir mereka bertemu, Ren memberikannya kejutan di hari ulang
tahunnya… tahun lalu. Sekarang sudah mendekati Tahun Baru, tepatnya tanggal 28
Desember. Tidak ada kabar dari Ren. Kemana dia?
Menghela
nafas, Rui memanggil salah satu pegawai dan memesan sandwich hangat. Yah,
mumpung ia sedang berada di sini dan menyelesaikan skripsinya. Ia benar-benar ngebut
menyelesaikan kuliahnya, dan bahkan beberapa tempat sudah menawarkannya
pekerjaan. Hanya satu yang menarik minatnya, sebenarnya. Itu juga karena ia
ditawarkan bekerja sebagai jurnalis bebas, berkelana. Dan Rui ingin kebebasan,
terutama apabila tidak ada kepastian mengenai dirinya dan Ren.
Kalau
dulu jaman-jaman SMP, SMA, mereka masih bisa berhubungan tanpa status, tapi
sekarang? Di umur dua puluh satu tahun?
Bahkan
Momo pun bertanya mengapa ia tidak jadian dengan Ren. Bayangkan, her
baby sister bertanya seperti itu! Rui seperti ditampar, ia hanya bisa
tersenyum paksa dan mencari alasan yang logis.
Tapi
apa alasan itu? Mereka berdua takut berkomitmen? Jarak jauh? Rui hanya
menggelengkan kepalanya dan tersenyum kepada pegawai yang membawa pesanannya.
Ia kembali menatap salju yang perlahan turun menutupi jalan, melihat
orang-orang yang berjalan, terlena dengan dunia mereka sendiri.
Terutama
melihat sepasang kekasih yang asik dengan dunia mereka sendiri. Begitu manis,
hanya memiliki mata kepada pasangannya. Begitu dekat. Begitu terjangkau.
Ah,
rasa iri muncul dihatinya, tapi Rui mendorongnya jauh. Sudah biasa.
Remember when we were such fools
And so convinced and just too cool
Oh no, no no
Café
ini merupakan tempat kenangan mereka berdua sejak jaman SMA.
Hampir
setiap hari sepulang sekolah mereka berdua duduk di sini, menikmati secangkir
cokelat hangat. Bahkan di hari panas sekalipun. Maka dari itu, Rui tidak pernah
memesan kopi di sini. Mereka terkadang duduk dalam diam, atau mengobrol tentang
apapun yang berada di pikiran mereka. Apabila mereka sedang bertengkar, ia
hanya perlu datang ke tempat ini dan beberapa menit kemudian Ren akan masuk,
memesankannya makanan favoritnya, meminta maaf, dan mereka akan kembali normal.
Bahkan
pegawainya pun sudah hafal nama dan wajah mereka. Sudah hafal pesanan mereka.
Sudah tahu bahwa mereka bukan pasangan, tapi tetap selalu pergi berdua. Tidak pernah
mengajak Marie-chan, Yuuko, atau Kenta. Apalagi Miho atau Yoshida. Tempat ini
milik mereka berdua.
Tapi
sejak mereka pisah tempat kuliah dan Ren pergi…
Tetap
saja hanya ia sendiri yang berada di sana. Beberapa pegawai bertanya ke mana
perginya pemuda 'tinggi, tampan, bad boy' yang selalu bersamanya. Rui
hanya tertawa dan tersenyum bahwa 'ia pergi'. Beberapa pegawai menatapnya
kasihan, tapi Rui berbalik dari tatapan itu.
Ia
tidak perlu melihat dari orang lain apa yang ia rasakan.
SMA.
Masa-masa paling indah, baginya. Mereka berdua begitu dekat, begitu mengenal
satu sama lain, begitu… menyatu. Tapi tetap belum resmi. Walau begitu seisi
sekolah sudah tahu bahwa Rui milik Ren dan begitu juga sebaliknya.
Ketika
ia tumbuh menjadi gadis cantik yang hiperaktif, yang baik dengan semua orang,
yang 'menawan tetapi tetap oblivious' –kata Ren, yang charmed beberapa
murid baru, mereka langsung mendapat pelajaran bahwa Rui sudah milik Ren.
Begitu juga sebaliknya.
Rui
memang 'melepas' Ren untuk berkencan dengan siapa saja, walau dalam hati ia
merasa sakit, tapi… toh Ren akan kembali lagi ke sampingnya. Atau begitulah
pikirannya.
Hanya
ada satu gadis. Satu gadis, satu kencan di mana Ren terlihat begitu bahagia,
membuat Rui moping selama beberapa minggu sebelum Marie-chan muak dan
menghadang Ren sendiri. Adu mulut pun terjadi, dan berakhir dengan Ren mengejar
Rui sampai café ini di kala hujan, meminta maaf dengan suara paling sedih,
memesankan mereka berdua cokelat hangat, dan memeluknya erat.
Pertama
kali Ren menciumnya.
Mereka
membatasi kontak tubuh. Berpegangan tangan, berpelukkan, saling mengacak rambut
satu sama lain, menyentil telinga, itu masih wajar bagi mereka. Mencium kening
atau pipi, special occasion. Tapi mencium bibirnya?
Itu
adalah first kiss bagi Rui, dan entah mengapa, dalam hati, ia berharap
bahwa Ren akan menjadi first and last kiss baginya.
Ah,
wistful thinking.
I wish I could touch you again
I wish I could still call you friend
I'd give anything
Pada
akhirnya, semua hanya kenangan.
Kenangan
manis memang, but that's it. Only a memory.
Karena
tepat setelah Ren menerima surat penerimaannya, ketika mereka berdua mendapat
surat penerimaan mereka, Rui mendapat firasat.
Mereka
akan berpisah.
Photography
adalah passion Ren yang tak
akan pernah Rui rebut. Tapi tetap saja, dengan jarak yang memisahkan mereka…
Mungkin
Rui sedikit sensitif waktu itu. Mungkin karena ia lelah karena apapun yang
terjadi di antara mereka tidak berubah dari dulu. Ciuman waktu itu hanya satu
kali waktu, karena Ren kembali menjadi dirinya yang dulu. Tidak ada yang
berubah. Mungkin, hanya Rui yang mengharap lebih.
Mereka
berpisah ketika mereka masih bertengkar.
Ren
mencoba menghubunginya beberapa kali, tapi Rui tidak ingin mendengarnya
beralasan. Bagaimana bisa, ketika ia mengetahui Miho diterima di universitas
yang sama? Crush yang muncul saat SD terpupuk hingga sekarang, walaupun
jelas-jelas Ren dekat dengan Rui.
Insecurity
destroyed her.
Miho
lebih cantik, lebih pintar, lebih… segalanya. Itu yang Rui kuatirkan. Bahwa,
walaupun setelah beberapa tahun berteman dan lebih dari teman, ketika Ren jauh
darinya, bebas, dan dengan gadis seperti Miho…
Sebut
ia bodoh, tapi cinta membuatnya buta.
Pada
akhirnya, tension di antara mereka tidak hilang bahkan ketika Rui member
surprise visit beberapa bulan kemudian. Ketika ia sudah beradaptasi
dengan lingkungannya. Ren terlihat lebih bersemangat, tapi mereka berdua masih
belum bisa melupakan bagaimana Rui berteriak kepada Ren dan meninggalkannya
begitu saja, kemudian tidak mengontaknya selama beberapa hari.
Tetap
saja…
Ia
akan memberikan apa saja demi mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan yang dulu.
When someone said 'count your blessings now,
before they long gone'
I guess I just didn't know how,
I was all wrong
They knew better, still you said forever
And never, who knew?
Kata
orang, nikmati suatu kebahagiaan, cherish, dan hayati setiap detiknya
karena kebahagiaan itu mungkin tidak akan terulang dua kali.
Rui
menyesal tidak mengikuti nasihat itu.
Bagaimanapun,
sekarang, beberapa tahun kemudian baru ia menyesal ia begitu careless dengan
masa-masa yang ia lewati dengan Ren, hmm? Tidak menyadari bahwa, suatu saat
nanti, ada masa di mana ia menginginkan masa itu datang kembali. Tidak
menyangka bahwa kebahagiaan itu akan hilang darinya.
Huh,
life is full of surprise. She should’ve known it. Bagaimanapun, kalau
ada seseorang yang berkata dulu, dulu sekali bahwa ia akan menemukan love of
her life dalam sosok Eguchi Ren, ia akan tertawa.
Tapi
toh, itu kenyataannya.
Rindu
dengan senyumnya, rindu dengan tawanya, rindu dengan suaranya. Rindu dengan
tingkah lakunya, rindu dengan pengertiannya, rindu dengan candanya, rindu
dengan tingka kekanak-kanakannya. Rindu akan dirinya.
Ah,
cinta memang rumit, ya. Ia benar-benar rindu dengan masa-masa SD di mana
segalanya lebih simpel. Bahkan SMP pun sudah mulai rumit. Apalagi SMA. Kuliah?
Kangen terus. Tapi apa di luar sana Ren ingat akan dirinya, atau sedang bersama
orang lain?
Menyesal,
benar-benar menyesal. Dulu, ia masih begitu polos, begitu naïf. Berfikir bahwa
mereka akan selalu seperti ini selamanya. Bahwa kebahagiaan itu akan tetap ada,
bahwa mereka tidak akan terpisahkan, bahwa mereka akan menjadi tulang punggung,
penyemangat masing-masing. Sekarang, mereka berdua hanya bisa menyemangati dari
jauh, itupun masih ada masalah dari berbagai tempat.
Andai,
dulu ia bisa membekukan waktu saat Ren tersenyum atau tertawa bebas, dan
merekamnya dan mengulangnya terus menerus. Mungkin akan mengikis sedikit rasa
rindu yang sudah tumbuh permanen di hatinya. Tapi mungkin. Mungkin saja, apapun
yang terjadi, rasa rindu itu masih ada. Tapi setidaknya ia sudah berusaha untuk
mengikisnya, right? Mungkin saja ia tidak akan merasa sesesal ini. Mungkin
saja…
Stress
dengan pikirannya sendiri, ia meraih cokelat panasnya tepat ketika pintu depan
terbuka. Ia berbalik, dan ingatan masa lalu menghantamnya keras.
Tidak
mungkin.
I keep you lock in my head
Until we meet again
Until we, until we meet again
And I won’t forget you my friend
What happened
Sama
seperti waktu itu. Hanya, ia sudah banyak berubah. Lebih tinggi –kalau itu
masih bisa terjadi, terlihat lebih dewasa, lebih segalanya.
Nafasnya
tertahan. Ia membeku, tidak bisa mempercayai matanya. Ia mengedip. Sekali, dua
kali. Ia masih ada di sana.
Berarti
ini nyata?
Ia
menggelengkan kepalanya sambil menutup matanya. Ia kemudian kembali menata
pintu masuk, dan ia masih ada di sana.
“Ren?”
Ren
terlihat… hebat. Terlihat banyak berubah. Ia bisa merasakan sedikit iri dan
sesal ketika tahu bahwa ia tidak ada untuk melihat perubahan itu terjadi. Tapi Ren
tetap berada di sini.
Untuk
apa ia ada di sini?
Ren
berjalan mendekatinya, walaupun ia masih belum yakin bahwa itu adalah sosok
Eguchi Rennya, semirip apapun ia. Ia menghela nafas dan memijit keningnya, dan
menyeruput cokelat hangatnya.
“Pasti
mimpi. Mungkin kurang tidur…” ia bergumam, tidak sadar bahwa Ren berada
beberapa meter darinya.
“Kurang
tidur kenapa lagi, hmm? Masa’ iya sudah sebesar ini kau masih belum bisa
mengurusi diri sendiri?”
Suaranya
masih sama.
Rui
menghela nafasnya, menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi yang berbentuk
sofa. Ia menatap Ren, melihatnya dari atas sampai bawah. Ini benar-benar Ren.
Benar-benar dirinya.
Kedua
matanye mengunci kedua mata cokelat milik Ren. Ia terkesiap ketika begitu
banyak emosi yang muncul di sana. Rindu, lelah, bahagia… cinta.
“Ren?”
Ia mendapati dirinya berbisik.
Ren
tersenyum. “Ini aku. Kau kira siapa, huh? Mimpi?”
Ya,
ia kira ia sedang bermimpi karena, tidak mungkin Ren berada di sini ketika ia
dengan jelas berkata bahwa ia sedang menyelesaikan semester terakhirnya, kan?
Ini
mimpi, kan?
Tapi
Ren di depannya terlihat begitu nyata…
If someone said three years from now
You’d be long gone
I’d stand up and punch them out
‘Cause they’re all wrong but
“Ren?”
Ren
terlihat kesal, kemudian menghela nafas dan duduk di sebelahnya. Kehangatan
yang ia pancarkan begitu familier, dan yang Rui ingin lakukan hanya menyender
kepada pundak familier itu dan melingkarkan lengannya di sekeliling pemuda yang
sudah menjadi bagian dari hidupnya bertahun-tahun itu. Tapi ia menahan dirinya.
Ia sudah capek, sungguh. Ia ingin tahu ada apa diantara mereka, apa Ren
mencintainya seperti Rui mencintainya, atau Ren menemukan gadis lain?
“Ini
aku, Rui. Maaf waktu itu aku berkata tidak bisa mampir tapi… ini kejutan,” Ren
menatapnya, tersenyum. Mau tak mau pun ia ikut tersenyum dan menyenderkan
dirinya ke Ren. Akhirnya. Ia begitu rindu, dan kehangatan yang
ditawarkan Ren langsung meluluhkan rasa rindunya perlahan-lahan.
“You!
I’m really, really worried when you said you couldn’t get here this holiday,” Rui
bergumam, akhirnya meraih tangan Ren dan menyatukan jari mereka. Otomatis
jemari Ren bertaut dengannya, menggenggamnya erat, seperti dulu lagi.
Ia
merasakan kepala Ren bersandar di atas kepalanya, dan ia bisa merasakan bahwa
pemuda itu sedang tersenyum.
“Well,
I’m here right now, am I?”
That last kiss, I’ll cherish, until we meet again
And time makes it harder
I wish I could remember
But I keep your memory
You visit me in my sleep
“What
are we, Ren?”
Ia
bisa merasakan Ren menegang di sampingnya, tapi kemudian relaks kembali. Ia
menunggu, hampir menutup matanya. This is it.
Apa
Ren merasakan hal yang sama dengannya, atau ini hanyalah sebuah lelucon?
“I
love you, isn’t that enough?”
Rui
menutup kedua matanya.
Ren
mencintainya, Ren mencintainya. Ia, Yamada Rui yang biasa-biasa saja! Ren
bisa saja jatuh cinta kepada orang lain, yang lebih darinya, tapi Ren
mencitainya…
“The
question is, do you love me?”
Rui
tertawa. Oh Ren…
“I’ve
been loving you since forever, maybe since the first day we met.”
Ren
tertawa di sebelahnya.
“Kita
berdua bodoh, eh? Menyianyiakan waktu seperti ini. Bermimpi akan hal yang
sebenarnya ada di depan mata, tapi ego dan insecurities kita tidak
membiarkan kita menggenggam mimpi itu.”
“Atau
mungkin kita memang belum siap,” bisik Rui, mengangkat wajahnya. Ia menatap Ren
dalam-dalam, kedua mata mereka bertemu. “But here I am. I love you, and I’m
ready. To be with you. Whatever you need me.”
Ren
tersenyum, benar-benar tersenyum. Senyum bahagia yang, kata Kenta, hanya
ditujukan kepada Rui. Hanya Rui penyebabnya.
Ia
bisa lihat apa yang orang lain lihat sekarang.
“I’m
your everything, Rui. Are labels important?”
“No.”
“Then?”
Rui
tertawa dan menggelengkan kepalanya. “Oh Ren…”
Mereka
berdua menatap satu sama lain, tenggelam dalam lautan emosi yang muncul di
kedua mata mereka. Perlahan, mereka mencondongkan tubuhnya ke arah satu sama
lain.
Mendekati
Ren, Rui menutup kedua matanya. Bibir mereka bertemu dalam sebuah ciuman manis,
penuh dengan perasaan mereka. Rindu, bahagia, sayang, cinta…
Jemari
mereka, yang masih bertaut, saling mengerat. Rui merasakan sebuah tangan muncul
di pipinya, menuju lehernya, dan menariknya untuk menciumnya lebih dalam. Bibir
mereka berdua bergerak singkron, seakan mereka telah melakukan hal ini beratus
kali. Mungkin karena mereka sudah familier dengan satu sama lain…
Perlahan,
mereka saling menjauh. Melepaskan kedua bibir mereka. Tapi kemudian Ren
menempelkan dahinya. Rui membuka kedua matanya, tersenyum lebar.
“There,
Aishiteru.”
My darling,
“Aishiteru.”
Akhirnya
ia tidak perlu menunggu lagi.
Who knew?
Fin.
No comments:
Post a Comment