Sunday, 2 October 2016

Who Knew by mut




 Disclaimer: the song is Who Knew by P!nk

The name and storyline is mine, places are either fictional or belong to Japan's Gov.

Happy Reading!


 You took my hand

You showed me how

Salju terlihat menawan, ya.

Rui menghela nafas dan memijit keningnya. Ia sekarang berada di sebuah café mungil dengan segelas cokelat panas ditangan. Memakai sweater berwarna cokelat, warna matanya, dan syal berwarna biru, warna favoritnya, ia merasa cukup hangat mengingat udara di bulan Desember kota Tokyo tidak pernah bersahabat. Kembali menghirup cokelat panasnya, pikirannya pun mengelana.

Tepatnya, menuju kenangan bersamanya.

Senyum kecil muncul di wajahnya. Aih, kenangan manis selama SD yang kemudian berlanjut menuju SMP dan SMA. Mereka berdua tidak terpisahkan sejak pertama kali mereka bertemu dan berteman dengan satu sama lain. Teman-temannya sejak SD, sebetulnya. Marie-chan dan Yuuko tetap menjadi sahabat terbaiknya. Kenta tetap bersama Yuuko, walaupun ada saatnya dimana mereka on-off. Dan dia…

Senyum kecilnya berubah menjadi senyum nostalgia. Ah, sosok Eguchi Ren memang one in a million. Unik. Begitu khas. Sampai Rui merasa benar-benar beruntung karena bisa bertemu dan mengenal sosok sepertinya. He's a gem.

Little crush yang mereka berdua miliki dipupuk hingga menjadi in love. Tetapi, mereka berdua tetap orang yang paling keras kepala yang bisa ditemui. Ego mereka begitu besar dan entah mengapa tidak bisa mereka kecilkan demi mengungkapkan kata-kata atas hal yang sudah jelas bagi mereka berdua, dan orang lain. Tapi tetap saja… walaupun kata tak terucap, Ren menggantinya dengan gestur-gesturnya yang manis.

Seperti dulu…

Ketika rasa dingin datang, ketika dirinya yang masih bocah melupakan pentingnya sarung tangan, Ren akan mengambil kedua tangannya dan memegangnya erat, memasukkannya ke dalam kantong jaketnya. Hangat yang dipancarkan oleh mereka berdua cukup membuat tangan Rui tidak kembali dingin. Ia ingat dulu hatinya bergetar dan wajahnya memanas.

Ren tidak pernah menginisiasi kontak tangan sebelumnya, dan kepada siapapun. Mungkin, di beberapa 'kencan' yang Rui lihat, ada tangan gadis lain yang memeluk lengan Ren, tapi anak laki-laki itu tidak pernah menggenggam tangan itu.

Hanya kedua tangannya.

Hangatnya masih bisa ia rasakan sampai sekarang. Ingatan yang menghantuinya, mengejar dirinya terutama ketika ia sedang lelah. Ketika tugas-tugas kuliah menumpuk dan kehangatan yang sangat ia butuhkan tidak ada. Ketika nostalgia menghantamnya dan ia dipenuhi oleh ingatan-ingatan manis akan masa kecilnya. Ketika yang ingin ia lakukan hanya berbalik dan menggenggam kedua tangan itu, mencari kehangatan.

Kedua tangannya begitu khas.

Karena pada saat itu, Eguchi Ren telah menawarkan kehangatakan kepada dirinya yang masih polos, dan menuntunnya kepada suatu kebahagiaan.

You promised me you'd be around

Uh huh

That's right

Ia ingat ketika mereka masih SMP dulu, mereka bertengkar. Mereka berdua sudah mengenal arti 'cinta', arti 'kekasih', dan arti 'hubungan tanpa status'. Entah mengapa, label itu yang mengikat mereka berdua. Lagi pula, mereka tidak pernah official, right? Lagi pula bukan salahnya dong, pergi kencan dengan Yoshida ketika Ren dan dirinya tidak ada hubungan resmi, dan ia sendiri melihat Ren jalan dengan gadis lain?

Huh, talk about hypocrite.

Mereka bertengkar karena Ren kesal ia pergi dengan Yoshida. Rui berteriak karena mereka bukan apa-apa dan Ren tidak berhak melarangnya pergi dengan siapapun. Ren berteriak karena ia pergi dengan Yoshida, yang Rui sadari, setelah ia melewati kepolosannya, memiliki crush terhadapnya sejak jaman SD dulu.

Rui hanya menatap Ren kesal, dan menggelengkan kepalanya.

"Talk about hypocrite, Ren. Kita bukan siapa-siapa, dan kau sendiri pergi dengan para gadis itu! Apa salahnya kalau aku pergi dengan Yoshida, huh?"

Mereka tidak berkencan. Mereka tidak berciuman. Mereka hanya dua teman yang begitu dekat, yang saling mengerti satu sama lain sampai seperti bisa membaca pikiran satu sama lain, begitu perhatian satu sama lain… dan sering jalan bersama.

Oke, mungkin jalan bersama itu bisa disebut dengan kencan. Tapi Ren tidak pernah mengklasifikasi 'outing' mereka dan Rui tidak terlalu peduli, lalu apa salahnya?

Lagi pula… suaranya tidak mengandung nada cemburu, right? Gadis-gadis yang bersama Ren sepantar dengannya, berkulit putih mulus, cantik, berambut panjang, dan…

Oke, mungkin ia sedikit tidak percaya diri. Tapi, siapa sih yang tidak?

"Kau pergi dengan Yoshida, orang yang kita berdua tahu memiliki perasaan terhadapmu. Dan gadis-gadis itu? Mereka tidak. Itu bedanya!"

Hal itu malah membuat Rui lebih kesal.

"Jadi kau lebih memilih jalan dengan gadis yang tidak kau temui dua kali, tidak memiliki perasaan satu sama lain, bergandengan tangan, berangkulan, kencan, daripada jalan bersamaku atau Kenta? Huh, figures. Mungkin mulai sekarang mereka bisa menjadi teman dekatmu, dan aku pergi dengan orang lain, hmm? Bye."

Ia berbalik dan mulai berjalan keluar kelas, tapi sebuah tangan menarik pergelangan tangannya, dan menahannya keluar. Damn, tangan itu lagi. Tangan yang begitu familier baginya, tangan yang begitu ia suka, tangan yang memberik kehangatan kepadanya. Segera, ia berhenti.

"Please… I promise I'll always be around."

Mendengar nada memohon di suara Ren, ia berbalik. Mereka berdua baru menginjak umur lima belas tahun, tapi Rui tahu saat ini ego Ren dikalahkan oleh… sesuatu. Sesuatu yang membuatnya menghentikannya ketika ia akan berjalan pergi.

"Dan… mengapa aku harus percaya?"

Tangan itu menuruni pergelangan tangannya, dan perlahaan tapi pasti melepas kepalan tangannya yang terkepal erat, dan menautkan jari-jari mereka.

"I know you and you know me. Isn't that enough?"

Rui berbalik, menghapad Ren. Kedua mata mereka bertemu dan Rui tersenyum.

"It's enough."

For now. Bagaimanapun juga, ia adalah seorang anak perempuan, memiliki sahabat laki-laki yang begitu dekat, begitu… mesra, tanpa ada label diantara mereka. Bagaimanapun, ia ingin sebuah kepastian.

Tapi sekarang, ini sudah cukup.

I took you words and I believed

In everything you said to me

Yeah huh, that's right

Rui percaya. Selama beberapa bulan setelah pertengkaran mereka, mereka berdua seperti lay down. Ren tidak pergi kencan dengan gadis dari sekolah lain, Rui tidak pergi kencan dengan Yoshida. Tapi bagaimanapun, mereka adalah remaja.

Rui mencoba sabar, sungguh. Bagaimanapun, ini akan sedikit awkward mengingat mereka mengenal satu sama lain sejak tahun pertama SD. Sudah… sembilan tahun. Sepuluh ketika ia berumur enam belas tahun. Tapi tetap saja…

Ia mulai mencoba untuk tidak terbawa perasaan, tapi… dengan Ren ia seperti mengalir. Bebas.

Tapi ia tetap mempercayai kata-kata Ren bahwa ia akan selalu ada.

Dan memang, Ren selalu ada. Ketika nilai-nilainya hancur. Ketika ia dan ibunya bertengkar. Ketika ia dan Mamoru kembali berselisih. Ketika Momo tumbuh besar dengan cepat. Ketika mereka berdua sama-sama memasuki jenjang SMA.

Dan ketika teman-temannya yang lain memiliki kesibukan sendiri.

Seperti Marie-chan. Bakatnya sebagai komikus diasah sejak dini dan ia sekarang membuat komiknya sendiri. Yuuko, begitu cantik dan populer, masih bersama Kenta dan mereka menjadi high school sweetheart. Ketika Mamoru begitu membanggakan orangtuanya sedangkan Rui, yang bersusah payah belajar, tapi rupanya bakatnya bukan di bidang akademik. Orangtuanya pengertian, memang. Tapi rasa percaya dirinya itu…

Ren mendukungnya. Seperti ia mendukung Ren dalam hal fotografi dan sepak bola. Ren ingin menjadi fotografer, dan Rui mendukungnya. Mereka berdua adalah batu penunjang satu sama lain, sandaran satu sama lain, pedukung satu sama lain.

Ren memang selalu berada di sisinya, tapi entah mengapa, ia terasa… jauh. Atau mungkin itu semua hanya perasaannya saja?

Ia kemudian berbalik ketika ia mendenger namanya dipanggil. Ah, rupanya Marie-chan. Ia tersenyum dan menyapanya, sebelum mereka berdua akhirnya tenggelam dalam berbagai topik, berusaha untuk mengenal hidup satu sama lain lagi. Begitu banyak hal yang sudah terjadi di kehidupan mereka, sehingga terkadang mereka saling melupakan satu sama lain. Tapi mereka masih saling mengenal kebiasaan masing-masing, mengetahui karakter masing-masing, dan hal itulah yang membuat mereka masih bersahabat sampai sekarang.

Tapi tetap saja yang ada di pikirannya hanya Ren…

Dan apakah janji Ren untuk tetap berada di sampingnya, walaupun mereka tidak… resmi, akan tetap ia jaga.

If someone said three years from now

You'd be long gone

I'd stand up and punch them out

'Cause they're all wrong

I know better cause you said forever

And never, who knew?

Jika ada yang berkata bahwa nanti, saat lulus SMA mereka akan benar-benar berpisah, Rui akan tertawa.

Tapi toh, itu kenyataannya. Karena Ren pergi mengejar mimpinya, dengan janji bawah ia tidak akan meninggalkannya, tapi Rui tetap terjebak di masa lalu.

Marie-chan mengejar mimpinya untuk menjadi komikus profesional, Yuuko mengejar mimpinya untuk menjadi guru TK, dan Kenta ingin menjadi mekanik. Rui sendiri masuk jurusan jurnalistik, mengingat pekerjaan kedua orangtuanya.

Mereka memang bertemu banyak teman baru, tapi apa sih yang mengalahkan dua belas tahun pertemanan?

Rui mencoba untuk move on, mencoba untuk tidak mencintai Ren. Ia yakin di tempat kuliahnya sana Ren mendapatkan gadis yang baru. Yang lebih.

Memikirkan hal itu saja membuatnya sakit.

Depresi membuatnya kekanakkan, membuatnya menemukan candu dalam kafein, membuatnya fokus terhadap pembelajarannya. Toh, Ren tidak akan kembali sampai ia lulus, kan?

Mereka jarang sekali bertemu. Bahkan Natal dan Tahun Baru. Apalagi liburan musim panas. Kapan sih, terakhir mereka berkumpul bersama? Sebelum mereka memasuki semester 4, ia ingat.

Menghela nafas, Rui meraih cokelat panasnya. Ia terkena marah Yuuko ketika wanita itu mendapati dirinya meminum kopi yang entah keberapa suatu hari, dan Rui dengan berat hati mengaku bahwa, demi lulus lebih awal, ia mengebut menyelesaikan pekerjaannya.

Gadis yang dulu malas mengerjakan tugas dan selalu mendapat nilai merah di sekolah telah berubah menjadi lebih berambisi. Semua demi seseorang.

Benar ya, cinta bisa mengubah seseorang.

Ah… love.

Mereka sering sms-an, mereka sering telefon-an, mereka sering skype-an. Tapi itu semua tidak sama dengan bertemu secara langsung, saling menyentuh satu sama lain, bukan? Terakhir mereka bertemu, Ren memberikannya kejutan di hari ulang tahunnya… tahun lalu. Sekarang sudah mendekati Tahun Baru, tepatnya tanggal 28 Desember. Tidak ada kabar dari Ren. Kemana dia?

Menghela nafas, Rui memanggil salah satu pegawai dan memesan sandwich hangat. Yah, mumpung ia sedang berada di sini dan menyelesaikan skripsinya. Ia benar-benar ngebut menyelesaikan kuliahnya, dan bahkan beberapa tempat sudah menawarkannya pekerjaan. Hanya satu yang menarik minatnya, sebenarnya. Itu juga karena ia ditawarkan bekerja sebagai jurnalis bebas, berkelana. Dan Rui ingin kebebasan, terutama apabila tidak ada kepastian mengenai dirinya dan Ren.

Kalau dulu jaman-jaman SMP, SMA, mereka masih bisa berhubungan tanpa status, tapi sekarang? Di umur dua puluh satu tahun?

Bahkan Momo pun bertanya mengapa ia tidak jadian dengan Ren. Bayangkan, her baby sister bertanya seperti itu! Rui seperti ditampar, ia hanya bisa tersenyum paksa dan mencari alasan yang logis.

Tapi apa alasan itu? Mereka berdua takut berkomitmen? Jarak jauh? Rui hanya menggelengkan kepalanya dan tersenyum kepada pegawai yang membawa pesanannya. Ia kembali menatap salju yang perlahan turun menutupi jalan, melihat orang-orang yang berjalan, terlena dengan dunia mereka sendiri.

Terutama melihat sepasang kekasih yang asik dengan dunia mereka sendiri. Begitu manis, hanya memiliki mata kepada pasangannya. Begitu dekat. Begitu terjangkau.

Ah, rasa iri muncul dihatinya, tapi Rui mendorongnya jauh. Sudah biasa.

Remember when we were such fools

And so convinced and just too cool

Oh no, no no

Café ini merupakan tempat kenangan mereka berdua sejak jaman SMA.

Hampir setiap hari sepulang sekolah mereka berdua duduk di sini, menikmati secangkir cokelat hangat. Bahkan di hari panas sekalipun. Maka dari itu, Rui tidak pernah memesan kopi di sini. Mereka terkadang duduk dalam diam, atau mengobrol tentang apapun yang berada di pikiran mereka. Apabila mereka sedang bertengkar, ia hanya perlu datang ke tempat ini dan beberapa menit kemudian Ren akan masuk, memesankannya makanan favoritnya, meminta maaf, dan mereka akan kembali normal.

Bahkan pegawainya pun sudah hafal nama dan wajah mereka. Sudah hafal pesanan mereka. Sudah tahu bahwa mereka bukan pasangan, tapi tetap selalu pergi berdua. Tidak pernah mengajak Marie-chan, Yuuko, atau Kenta. Apalagi Miho atau Yoshida. Tempat ini milik mereka berdua.

Tapi sejak mereka pisah tempat kuliah dan Ren pergi…

Tetap saja hanya ia sendiri yang berada di sana. Beberapa pegawai bertanya ke mana perginya pemuda 'tinggi, tampan, bad boy' yang selalu bersamanya. Rui hanya tertawa dan tersenyum bahwa 'ia pergi'. Beberapa pegawai menatapnya kasihan, tapi Rui berbalik dari tatapan itu.

Ia tidak perlu melihat dari orang lain apa yang ia rasakan.

SMA. Masa-masa paling indah, baginya. Mereka berdua begitu dekat, begitu mengenal satu sama lain, begitu… menyatu. Tapi tetap belum resmi. Walau begitu seisi sekolah sudah tahu bahwa Rui milik Ren dan begitu juga sebaliknya.

Ketika ia tumbuh menjadi gadis cantik yang hiperaktif, yang baik dengan semua orang, yang 'menawan tetapi tetap oblivious' –kata Ren, yang charmed beberapa murid baru, mereka langsung mendapat pelajaran bahwa Rui sudah milik Ren. Begitu juga sebaliknya.

Rui memang 'melepas' Ren untuk berkencan dengan siapa saja, walau dalam hati ia merasa sakit, tapi… toh Ren akan kembali lagi ke sampingnya. Atau begitulah pikirannya.

Hanya ada satu gadis. Satu gadis, satu kencan di mana Ren terlihat begitu bahagia, membuat Rui moping selama beberapa minggu sebelum Marie-chan muak dan menghadang Ren sendiri. Adu mulut pun terjadi, dan berakhir dengan Ren mengejar Rui sampai café ini di kala hujan, meminta maaf dengan suara paling sedih, memesankan mereka berdua cokelat hangat, dan memeluknya erat.

Pertama kali Ren menciumnya.

Mereka membatasi kontak tubuh. Berpegangan tangan, berpelukkan, saling mengacak rambut satu sama lain, menyentil telinga, itu masih wajar bagi mereka. Mencium kening atau pipi, special occasion. Tapi mencium bibirnya?

Itu adalah first kiss bagi Rui, dan entah mengapa, dalam hati, ia berharap bahwa Ren akan menjadi first and last kiss baginya.

Ah, wistful thinking.

I wish I could touch you again

I wish I could still call you friend

I'd give anything

Pada akhirnya, semua hanya kenangan.

Kenangan manis memang, but that's it. Only a memory.

Karena tepat setelah Ren menerima surat penerimaannya, ketika mereka berdua mendapat surat penerimaan mereka, Rui mendapat firasat.

Mereka akan berpisah.

Photography adalah passion Ren yang tak akan pernah Rui rebut. Tapi tetap saja, dengan jarak yang memisahkan mereka…

Mungkin Rui sedikit sensitif waktu itu. Mungkin karena ia lelah karena apapun yang terjadi di antara mereka tidak berubah dari dulu. Ciuman waktu itu hanya satu kali waktu, karena Ren kembali menjadi dirinya yang dulu. Tidak ada yang berubah. Mungkin, hanya Rui yang mengharap lebih.
Mereka berpisah ketika mereka masih bertengkar.

Ren mencoba menghubunginya beberapa kali, tapi Rui tidak ingin mendengarnya beralasan. Bagaimana bisa, ketika ia mengetahui Miho diterima di universitas yang sama? Crush yang muncul saat SD terpupuk hingga sekarang, walaupun jelas-jelas Ren dekat dengan Rui.

Insecurity destroyed her.

Miho lebih cantik, lebih pintar, lebih… segalanya. Itu yang Rui kuatirkan. Bahwa, walaupun setelah beberapa tahun berteman dan lebih dari teman, ketika Ren jauh darinya, bebas, dan dengan gadis seperti Miho…

Sebut ia bodoh, tapi cinta membuatnya buta.

Pada akhirnya, tension di antara mereka tidak hilang bahkan ketika Rui member surprise visit beberapa bulan kemudian. Ketika ia sudah beradaptasi dengan lingkungannya. Ren terlihat lebih bersemangat, tapi mereka berdua masih belum bisa melupakan bagaimana Rui berteriak kepada Ren dan meninggalkannya begitu saja, kemudian tidak mengontaknya selama beberapa hari.

Tetap saja…

Ia akan memberikan apa saja demi mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan yang dulu.

When someone said 'count your blessings now,

before they long gone'

I guess I just didn't know how,

I was all wrong

They knew better, still you said forever

And never, who knew?

Kata orang, nikmati suatu kebahagiaan, cherish, dan hayati setiap detiknya karena kebahagiaan itu mungkin tidak akan terulang dua kali.

Rui menyesal tidak mengikuti nasihat itu.

Bagaimanapun, sekarang, beberapa tahun kemudian baru ia menyesal ia begitu careless dengan masa-masa yang ia lewati dengan Ren, hmm? Tidak menyadari bahwa, suatu saat nanti, ada masa di mana ia menginginkan masa itu datang kembali. Tidak menyangka bahwa kebahagiaan itu akan hilang darinya.

Huh, life is full of surprise. She should’ve known it. Bagaimanapun, kalau ada seseorang yang berkata dulu, dulu sekali bahwa ia akan menemukan love of her life dalam sosok Eguchi Ren, ia akan tertawa.
Tapi toh, itu kenyataannya.

Rindu dengan senyumnya, rindu dengan tawanya, rindu dengan suaranya. Rindu dengan tingkah lakunya, rindu dengan pengertiannya, rindu dengan candanya, rindu dengan tingka kekanak-kanakannya. Rindu akan dirinya.

Ah, cinta memang rumit, ya. Ia benar-benar rindu dengan masa-masa SD di mana segalanya lebih simpel. Bahkan SMP pun sudah mulai rumit. Apalagi SMA. Kuliah? Kangen terus. Tapi apa di luar sana Ren ingat akan dirinya, atau sedang bersama orang lain?

Menyesal, benar-benar menyesal. Dulu, ia masih begitu polos, begitu naïf. Berfikir bahwa mereka akan selalu seperti ini selamanya. Bahwa kebahagiaan itu akan tetap ada, bahwa mereka tidak akan terpisahkan, bahwa mereka akan menjadi tulang punggung, penyemangat masing-masing. Sekarang, mereka berdua hanya bisa menyemangati dari jauh, itupun masih ada masalah dari berbagai tempat.
Andai, dulu ia bisa membekukan waktu saat Ren tersenyum atau tertawa bebas, dan merekamnya dan mengulangnya terus menerus. Mungkin akan mengikis sedikit rasa rindu yang sudah tumbuh permanen di hatinya. Tapi mungkin. Mungkin saja, apapun yang terjadi, rasa rindu itu masih ada. Tapi setidaknya ia sudah berusaha untuk mengikisnya, right? Mungkin saja ia tidak akan merasa sesesal ini. Mungkin saja…

Stress dengan pikirannya sendiri, ia meraih cokelat panasnya tepat ketika pintu depan terbuka. Ia berbalik, dan ingatan masa lalu menghantamnya keras.

Tidak mungkin.

I keep you lock in my head

Until we meet again

Until we, until we meet again

And I won’t forget you my friend

What happened

Sama seperti waktu itu. Hanya, ia sudah banyak berubah. Lebih tinggi –kalau itu masih bisa terjadi, terlihat lebih dewasa, lebih segalanya.

Nafasnya tertahan. Ia membeku, tidak bisa mempercayai matanya. Ia mengedip. Sekali, dua kali. Ia masih ada di sana.

Berarti ini nyata?

Ia menggelengkan kepalanya sambil menutup matanya. Ia kemudian kembali menata pintu masuk, dan ia masih ada di sana.

“Ren?”

Ren terlihat… hebat. Terlihat banyak berubah. Ia bisa merasakan sedikit iri dan sesal ketika tahu bahwa ia tidak ada untuk melihat perubahan itu terjadi. Tapi Ren tetap berada di sini.

Untuk apa ia ada di sini?

Ren berjalan mendekatinya, walaupun ia masih belum yakin bahwa itu adalah sosok Eguchi Rennya, semirip apapun ia. Ia menghela nafas dan memijit keningnya, dan menyeruput cokelat hangatnya.

“Pasti mimpi. Mungkin kurang tidur…” ia bergumam, tidak sadar bahwa Ren berada beberapa meter darinya.

“Kurang tidur kenapa lagi, hmm? Masa’ iya sudah sebesar ini kau masih belum bisa mengurusi diri sendiri?”

Suaranya masih sama.

Rui menghela nafasnya, menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi yang berbentuk sofa. Ia menatap Ren, melihatnya dari atas sampai bawah. Ini benar-benar Ren. Benar-benar dirinya.

Kedua matanye mengunci kedua mata cokelat milik Ren. Ia terkesiap ketika begitu banyak emosi yang muncul di sana. Rindu, lelah, bahagia… cinta.

“Ren?” Ia mendapati dirinya berbisik.

Ren tersenyum. “Ini aku. Kau kira siapa, huh? Mimpi?”

Ya, ia kira ia sedang bermimpi karena, tidak mungkin Ren berada di sini ketika ia dengan jelas berkata bahwa ia sedang menyelesaikan semester terakhirnya, kan?

Ini mimpi, kan?

Tapi Ren di depannya terlihat begitu nyata…

If someone said three years from now

You’d be long gone

I’d stand up and punch them out

Cause they’re all wrong but

“Ren?”

Ren terlihat kesal, kemudian menghela nafas dan duduk di sebelahnya. Kehangatan yang ia pancarkan begitu familier, dan yang Rui ingin lakukan hanya menyender kepada pundak familier itu dan melingkarkan lengannya di sekeliling pemuda yang sudah menjadi bagian dari hidupnya bertahun-tahun itu. Tapi ia menahan dirinya. Ia sudah capek, sungguh. Ia ingin tahu ada apa diantara mereka, apa Ren mencintainya seperti Rui mencintainya, atau Ren menemukan gadis lain?

“Ini aku, Rui. Maaf waktu itu aku berkata tidak bisa mampir tapi… ini kejutan,” Ren menatapnya, tersenyum. Mau tak mau pun ia ikut tersenyum dan menyenderkan dirinya ke Ren. Akhirnya. Ia begitu rindu, dan kehangatan yang ditawarkan Ren langsung meluluhkan rasa rindunya perlahan-lahan.

You! I’m really, really worried when you said you couldn’t get here this holiday,” Rui bergumam, akhirnya meraih tangan Ren dan menyatukan jari mereka. Otomatis jemari Ren bertaut dengannya, menggenggamnya erat, seperti dulu lagi.

Ia merasakan kepala Ren bersandar di atas kepalanya, dan ia bisa merasakan bahwa pemuda itu sedang tersenyum.

Well, I’m here right now, am I?”

That last kiss, I’ll cherish, until we meet again

And time makes it harder

I wish I could remember

But I keep your memory

You visit me in my sleep

What are we, Ren?”

Ia bisa merasakan Ren menegang di sampingnya, tapi kemudian relaks kembali. Ia menunggu, hampir menutup matanya. This is it.

Apa Ren merasakan hal yang sama dengannya, atau ini hanyalah sebuah lelucon?

I love you, isn’t that enough?”

Rui menutup kedua matanya.

Ren mencintainya, Ren mencintainya. Ia, Yamada Rui yang biasa-biasa saja! Ren bisa saja jatuh cinta kepada orang lain, yang lebih darinya, tapi Ren mencitainya…

The question is, do you love me?”

Rui tertawa. Oh Ren…

I’ve been loving you since forever, maybe since the first day we met.”

Ren tertawa di sebelahnya.

“Kita berdua bodoh, eh? Menyianyiakan waktu seperti ini. Bermimpi akan hal yang sebenarnya ada di depan mata, tapi ego dan insecurities kita tidak membiarkan kita menggenggam mimpi itu.”

“Atau mungkin kita memang belum siap,” bisik Rui, mengangkat wajahnya. Ia menatap Ren dalam-dalam, kedua mata mereka bertemu. “But here I am. I love you, and I’m ready. To be with you. Whatever you need me.”

Ren tersenyum, benar-benar tersenyum. Senyum bahagia yang, kata Kenta, hanya ditujukan kepada Rui. Hanya Rui penyebabnya.

Ia bisa lihat apa yang orang lain lihat sekarang.

I’m your everything, Rui. Are labels important?”

No.”

Then?”

Rui tertawa dan menggelengkan kepalanya. “Oh Ren…”

Mereka berdua menatap satu sama lain, tenggelam dalam lautan emosi yang muncul di kedua mata mereka. Perlahan, mereka mencondongkan tubuhnya ke arah satu sama lain.

Mendekati Ren, Rui menutup kedua matanya. Bibir mereka bertemu dalam sebuah ciuman manis, penuh dengan perasaan mereka. Rindu, bahagia, sayang, cinta…

Jemari mereka, yang masih bertaut, saling mengerat. Rui merasakan sebuah tangan muncul di pipinya, menuju lehernya, dan menariknya untuk menciumnya lebih dalam. Bibir mereka berdua bergerak singkron, seakan mereka telah melakukan hal ini beratus kali. Mungkin karena mereka sudah familier dengan satu sama lain…

Perlahan, mereka saling menjauh. Melepaskan kedua bibir mereka. Tapi kemudian Ren menempelkan dahinya. Rui membuka kedua matanya, tersenyum lebar.

There, Aishiteru.”

My darling,

Aishiteru.”

Akhirnya ia tidak perlu menunggu lagi.

Who knew?

Fin.

No comments:

Post a Comment